Siaranindo - Belakangan ini ada sebuah mainan yang lagi buming dikalangan masyarakat dan sering dimainkan anak-anak, yakni fidget spinner. Permainan itu berbentuk baling-baling, dan untuk memainkannya, Anda harus memegang bagian tengah fidget spinner dengan jempol dan jari tengah, lalu memutar bilah-bilahnya dengan jari manis tangan yang sama, atau jari-jari tangan yang lain. Lebih dari sekadar permainan, meski belum ada penelitian ilmiahnya, beberapa pakar mengatakan bahwa fidget spinner merupakan alat terapeutik untuk mereka dengan kegelisahan autisme, atau ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Gerakan memutar-mutar fidget spinner dipercaya dapat meningkatkan fokus dan mengusir kebosanan maupun kecemasan. Benarkah demikian?
Fidget spinner sendiri sebenarnya telah ada sejak lama, tetapi baru mulai terkenal tahun ini di Indonesia. Di Amerika Serikat, fidget spinner telah lebih dahulu populer. Bahkan fidget spinner termasuk 10 jenis mainan paling laris. Mainan tersebut dipatenkan pertama kali oleh Catherine Hettinger (60) pada tahun 1997. Wanita asal Florida, Amerika Serikat, itu mulanya membuat fidget spinner sebagai alat untuk membantu ia merasa tenang ketika bekerja.
Menurut Fathya Artha Utami, M. Psi., psikolog di Paediatric Clinical Psychologist, Jakarta, “Fidget spinner bisa saja digunakan sebagai alat bantu pemenuhan sensori dan untuk melatih fokus anak, tetapi dengan beberapa catatan.” Misalnya, Anda harus menentukan lama waktu bermain. Jika memang tujuannya membuat anak lebih fokus, mainan ini bisa diberikan ketika anak mulai tidak fokus, misalnya 1-2menit, sesuai kebutuhan anak, sampai anak terlihat fokus kembali, lalu disudahi dan kembali ke aktivitas semula.
Selain itu, menurut Fathya, harus dibuat juga peraturan main yang jelas, dan sebaiknya ada orang dewasa yang tetap mengawasi selama anak memainkannya, karena jika digunakan dalam waktu yang berlebihan, dan pada akhirnya dimainkan di situasi yang tidak seharusnya, permainan itu malah mengganggu fokus dan atensi anak terhadap sesuatu yang seharusnya ia perhatikan, misalnya di kelas saat sedang belajar.
"Saya melihat hal positif dari permainan ini adalah anak bisa dan mau memainkan hal selain gadget. Hanya saja, tetap dibutuhkan aturan dan pengawasan dari orang dewasa agar anak bisa memainkannya sesuai dengan konteks yang seharusnya," kata Fathya. Siaranindo


0 comments:
Post a Comment